Kangen!
Oke, assalamu’alaikum good readers, iya good karena sudah
meluangkan waktunya untuk membaca yang mungkin sedikit manfaatnya ini hihi
Lama ingin menulis dan bercerita, menunggu saat yang tepat, yang tidak mengganggu waktu
kerja, waktu kuliah, waktu main, waktu bobo dan waktu makan.
So, i would like to say Alhamdulillahirobil ‘alamin atas
pertambahan usia di tahun masehi sehingga umur unga sekarang 24 tahun. Padahal ramadhan
tahun lalu sesungguhnya unga sudah 24 tahun.
Mari kita mulai ceritanya. . . .
Jadi saya ingin bermuhasabah diri atas apa yang terjadi
selama 24 tahun saya diberikan kesempatan hidup. Bahagia saya kini setelah
butuh waktu 23 tahun, akhirnya saya paham siapa saya dan apa peran saya di
dunia. Menjadi anak pertama dengan karunia perjalanan hidup yang tidak banyak
orang tahu, membuat saya memiliki tujuan yang jelas. Mau seperti apa dan
bagaiaman cara saya meraihnya. Tidak mewah, tidak tampak rumit, semuanya inshaa
Allah atas dasar Lillahita’ala.
Bersyukurnya karena sedari kecil ada do’a kelapangan yang
saya ucapkan sehabis sholat. Dan entah dari do’a yang mana akhirnya dikabul
Allah. Bahagia setiap kali melihat kemajuan siapapun dihadapan saya. Tak ada
rasa ingin berbicara yang kurang baik. Dan itu baru saya sadari saat seseorang
yang dekat dengan saya membicarakan sifat saya kemarin.
Waktu memang terus berjalan, kan. Jika pernah mendengar
kalimat “jangan sia-siakan waktumu” sesungguhnya tidak ada yang salah dengan
kalimat tersebut. Saya saja hampir tidak bisa tidur beberapa hari kemarin,
hingga akhirnya sakit. Ternyata karena pikiran terlalu banyak wasting time. Dan
itu baru sadar setelah saya mendengar debat DR. Zakir Naik di www.youtube.com .
Oke, mulai melihat time schedule ditahun ini dan mulai
membenahi yang sempat terlewatkan. Ayoooo semangat unga, lari lagi kejar terus!!.
Satu persatu isi dunia berubah. Keluarga, teman, lingkungan
semuanya berubah. Ayah dan ibu semakin menua, masakan ibu masih tetap enak
walaupun sekarang ibu hanya mampu memasak 2-3 menu sehari, dan sebagai putrinya
saya harus memulai menggantikan perannya sebagai koki dirumah. Ayah pun sama,
order cetakannya masih berjalan, walaupun mungkin tak seperti dulu semua
kesempatan berusaha diambilnya demi keberlangsungan hidup ibu, saya dan adik.
Teman-teman yang dahulu selalu ada kabarnya, walau tidak
bertemu, tetap ada ucapan rindu di media sosial lama-lama memilih lingkungan
yang baru. Yang menurutnya lebih nyaman, yang secara tidak langsung membuat
standar harus berteman dengan yang seperti apa. Manusia sudah seperti sandang
yang diberi merk lalu dipilih melalui kemapanan dan kepantasan. Sejujurnya saya
prihatin dengan mental people nowdays yang saya ceritakan ini. Memangnya yang
akan mendo’akan kita dalam kebaikan itu harus dibayar mahal dulu agar mau, agar
setia, bukankah lebih baik do’a terucap dari orang-orang yang tulus?.
Lalu pernikahan, undangan yang tidak berhenti mungkin bagi
sebagian orang adalah hal yang merepotkan. Dari mulai haru datang, harus
memberikan do’a restu juga malu jika tidak membawa hadiah atau amplop. Padahal ada
keberkahan dalam setiap undangan, makanya kenapa undangan itu hukumnya fardu
kifayah(wallohualam). Apalagi saat akad nikah, kita bisa berdo’a diantara
malaikat yang menyaksikan perjanjian besar sang pengantin (mitsaqan ghaliza).
Bicara tentang nikah, saya sempat mikir keras bahwa menjadi
seorang istri yang di inginkan (re: calon istri idaman) bukanlah tentang bagaimana
ia bisa berdandan cantik, mengupload foto di media sosial dengan gaya paling
menarik, hobi traveling dan rajin membuat quote disetiap post media sosialnya. Bagaimana
jika kita runut sedikit saja pekerjaan ibu rumah tangga. Pastilah ia yang bisa masak
agar nanti suaminya tidak kelaparan saat mencari kerja, memang bisa beli tetapi
itu akan jadi alasan suami malas pulang kerumah karena toh saat lapar ia tak
perlu menghargai masakan yang tak pernah dibuat istrinya. Lalu harus bisa
menjadi manager dirumah, dari mulai kerapihan, kebersihan, tentu sang istri
tidak cukup memaknai diri rapih jika yang cantik hanya parasnya. Rumahnya nanti
tetap harus dibersihkan, di sapu, dipel, ada banyak baju yang harus di cuci, di
setrika, tanaman yang dirawat, tagihan listrik dan telepon yang harus dibayar,
belum lagi jika sudah punya anak nanti, masih banyak pekerjaan yang tidak ada
sekolahnya akan dikerjakan seorang istri. Dan itu semua adalah fitrah.
Saya, inshaa Allah sedang belajar menjadi calon istri
idaman. Tentunya saya juga memiliki calon suami idaman dong, hihi....
Setiap kali ada yang memiliki niat baik dan bertanya apakah
sudah siap di khitbah, tentunya akan saya jawab 'sudah inshaa Allah', karena
semua tidak akan terjadi tanpa kita niat dan mulai. Ada yang langsung
mengirimkan CV, ada yang meminta izin dahulu untuk mengirim CV, ada yang
bertanya-tanya lalu menghilang, ada yang sudah ada niat tapi masih harus
menunggu pendidikannya selesai, ada yang menunggunya mapan beli mobil dan rumah
dulu dengan alasan tidak ingin membawa susah dari awal, ada yang mau karena
dijodoh-jodohkan dan yang terakhir, yang bertanya apakah sudah siap di khitbah,
lalu melamar di pertemuan pertamanya dengan saya.
Lalu yang mana yang akhirnya menjadi calon suami idaman
saya?
Oke menurut Al-Qur’an lelaki yang baik hanya untuk peremuan yang baik. Lalu ukuran baiknya itu dari mana?. Apakah saat ia sudah mapan lalu
rajin ke mesjid ikut kajian laki-laki tersebut bisa dikatakan baik?. Atau tentang
laki-laki yang tak pernah pacaran seumur hidupnya karena taqwa, sudah bekerja lalu
tiba-tiba melamar? Atau tak perlu lah rajin ke mesjid dan ikut kajian, asal
masih mau sholat tak apa bolong-bolong yang penting punya mobil dan sudah
bekerja sebagai pegawai tetap?.
Saat mengikuti seminar pranikah dulu, seorang narasumber
menyampaikan bahwa sebelum kita menentukan ingin menikah, buatlah sebuat
kriteria, visi, misi bagaimana rumah tangga kita nantinya. Bagi yang sudah
pernah membuat CV mungkin tahu yang saya maksud ya. Ternyata ini memang
penting, karena kita tidak akan menemukan calon suami idaman saat kita tak
memiliki kriteria. Jangan sampai ada istilah ‘dapat yang seperti inipun sayamah
sudah untung’. Jodoh itu bisa kita usahakan, tergantung seberapa keras kita do’a
dan ikhtiar.
Saya tidak memiliki mimpi ingin menikah dengan seorang pangeran
walaupun cita-cita saya ingin menjadi seorang putri. Karena saya yakin, lelaki
yang bertanggung jawab akan menghargai saya sebagai putri dalam rumah tangga
kami. Tetap menghargai masakan saya walaupun belum seenak masakan ibunya,
misalnya. Saya bukan perempuan yang bermasalah jika harus memulai semuanya dari
nol. Sahabat saya berpesan bahwa kemapanan seseorang itu sudah ada waktunya,
saat dia melesat semuanya akan lebih baik dari yang pernah dibayangkan. Agar pernikahannya
kuat mengingat segala perjuangan untuk membangunnya penuh do’a dan ikhtiar
bersama. Karena satu hal yang saya pelajari dari penikahan ayah dan ibu,
kemapanan bukanlah syarat membina rumah tangga sakinah, mawaddah dan warahmah. Perjalanan
rumah tangga ayah dan ibu membuat saya yakin, bahwa mereka kuat bukan karena
materil, tetapi mereka kuat dalam do’a dan ikhitar, saling menguatkan satu sama
lain, mendukung apapun yang terjadi, tidak mencari ‘kesenangan’ diluar rumah
dan memberikan pendidikan aqidah akhlak yang baik kepada putra-putrinya. Karena
tidak sedikit teman-teman saya yang memilih hidup jauh dari orang tuanya yang
sedang dalam keadaan sulit. Itu semua pengaruh dari bagaimana rumah tangga itu
dibina dengan basic agama yang kuat.
Jadi, jika saat ini masih ada laki-laki yang menilai saya
sebagai perempuan matrealistis, sesungguhnya anda hanya sedang merendah diri dan merasa tidak mampu. Karena buktinya,
ada laki-laki yang selalu saya sebut dalam do’a datang tanpa banyak pertanyaan
dan menyatakan keyakinannya untuk menikah dengan saya.
Selalu saya sebut, bukan namanya, tapi kriterianya, calon
suami idaman saya, yang kuat, yang bertanggung jawab, mampu menyayangi saya dan
keluarga dan yang paling utama, mampu menerima segala keadaan saya dan keluarga
seberat apapun beban masa lalu saya. Cukup itu.
Karena harta bisa dicari bersama, kita nanti bisa memulai
semuanya dengan perjuangan setelah halal. Bukankah menikmati hasil dari proses
yang kita lalui itu lebih nikmat. Ada rasa sayang atas hasil yang didapat dan
menjadikan kita lebih amanah.
Do’a saya masih belum selesai, masih ada istikharah panjang
hingga waktunya tiba. Masih ingat dengan kekuatan do’a kan? Iya, karena hanya
do’a yang mampu menggerakan takdir.
Entah kenapa dari niat melemaskan otak, saya merasa perlu menulis ini semua.
Jadi, terimakasih atas semua ucapan selamat, do’a, perayaan
dan hadiah ulang tahun untuk saya. Semoga tahun depan cara merayakannya sudah
beda ya, perlahan ada hal dan kebiasaan yang ingin saya tinggalkan hehe.
Semoga Allah senantiasa memberikan kita kebaikan dunia juga
akhirat aamiin
Jazakumulloh khoirin katsiro...
Komentar
Posting Komentar
Berbagilah, karena itu indah :)